Below is the Bahasa Indonesia version of my previous article "FANATIC". One mailing list respectfully asked me to translate it into my mother tongue. :)
Ketika pertama kali berkenalan dengan ideologi feminisme tahun 2003, aku begitu terpesona dengan ide-ide yang terkandung di dalamnya (karena aku menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang menghantuiku bertahun-tahun, yang karena indoktrinasi agama yang sangat kuat yang kuterima sejak kecil membuatku tak berani berpikir bahwa sebenarnya ide perempuan adalah makhluk nomor dua setelah laki-laki hanyalah hasil bentukan konstruksi sosial dan bukanlah diciptakan oleh Tuhan) sehingga aku tak bersedia membaca buku-buku/artikel-artikel yang tidak ditulis dari perspektif feminis. Dengan sengaja aku menghindari berbagai macam tulisan yang ditulis untuk mengukuhkan status quo budaya patriarki. Sebelum aku memutuskan untuk membeli sebuah buku/novel/jurnal, aku harus memastikan dulu bahwa buku/novel/jurnal tersebut ditulis oleh para penulis feminis, atau paling tidak bebas dari bias gender.
Karena itulah seorang teman dekatku menertawakanku atas tindakanku yang menurutnya menggelikan ini. “Hal ini menunjukkan bahwa hati kecilmu sendiri masih merasa khawatir bahwa kamu akan menemukan ideologi lain lagi yang akan mematahkan kepercayaanmu pada ideologi feminisme.” Katanya.
Tatkala membeli buku-buku yang berkaitan dengan Feminisme dan Islam, kebetulan aku menemukan buku-buku tulisan Fatima Mernissi dan Riffat Hassan (diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia dengan judul “Setara di Hadapan Allah”), Qasim Amin (judulnya diterjemahkan menjadi “Matinya Perempuan”), Nawal El Sadawi (novel berjudul “Perempuan di Titik Nol” dan bukunya yang berjudul “Perempuan dalam Budaya Patriarki”), dll. Dalam artikelnya yang berjudul “Menyikapi Feminisme dan Isu Gender”, Dr. Syamsuddin Arif ternyata melabeli mereka sebagai “Feminis Muslim Radikal”. Seradikal apakah ide yang mereka lontarkan kepada khalayak ramai? Menurutku tentu saja tidak seradikal Mary Daly ataupun Germaine Greer yang memutuskan untuk menjadi homoseksual yang sampai sekarang masih dianggap melenceng dari “norma sosial yang normal”.
Ternyata, dalam proses pembentukan diri menjadi seorang feminis, “perkenalanku” dengan ideologi feminisme telah memanjakan diriku sendiri dengan ide-ide liberal (dan mungkin pula “radikal”) untuk memenuhi karakterku sebagai seorang rebel (penentang) selain untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang telah memenuhi otakku semenjak kecil. Bila bagi banyak orang Indonesia kata LIBERAL dicurigai sebagai sesuatu yang berkonotasi negatif, di mataku kata ini menjadi begitu menarik untuk dipelajari. Hal ini membuatku membaca lebih banyak buku yang lebih bervariatif, termasuk buku-buku yang tentu bakal kena sensor oleh guru-guruku tatkala masih duduk di bangku Madrasah Ibtidaiyah (SD Islam), mungkin juga orang tuaku sendiri.
Keingintahuanku yang besar apakah Tuhan cenderung untuk memilih agama mana yang akan Dia ridhai perlu mendapatkan jawaban. Aku ingat chat yang kulakukan beberapa kali dengan beberapa orang yang tinggal di belahan bumi yang lain tentang “kebenaran absolut” atas satu agama, seseorang berkata, “Bagaimana mungkin seseorang akan percaya bahwa hanya agamanyalah yang benar? Dan pada saat yang bersamaan banyak orang lain lagi yang berpendapat sama, dari agama yang berbeda. Bagaimana mungkin begitu banyak orang mengklaim hal yang sama?”
Selain itu, keyakinanku bahwa Tuhan Yang Maha Esa itu benar-benar Maha Penyayang, dan bukan Maha Penghukum maupun Maha Pemarah telah mendorongku untuk membaca buku lebih banyak lagi.
Juga keyakinanku bahwa cara berpikir manusia yang sok tahu itu tentulah sangat jauh berbeda dengan cara berpikir Tuhan yang bukan makhluk, melainkan sang Khalik. Kita sering berpikir (atau menuduh) bahwa Tuhan Yang Maha Esa akan melakukan ini itu, sesuai dengan cara berpikir kita yang tentu sebagai makhluk sangatlah terbatas.
Dan, tanpa kusadari aku mulai meninggalkan sikapku yang menggelikan di tahun 2003 lalu itu. Aku tak lagi memenjarakan diri untuk mebaca buku-buku yang ditulis menggunakan perspektif feminis maupun yang ditulis oleh para Muslim fanatik yang dengan mudah menuduh agama atau keyakinan lain sebagai sesat hanya karena mereka tidak beragama Islam. Tentu saja pada saat yang bersamaan aku juga geli (dan kasihan) pada mereka yang beragama Non-Islam yang beranggapan bahwa Islam maupun agama-agama lain (yang tidak mereka peluk) sebagai agama yang sesat. Hal yang menyedihkan pula bagiku karena kemudian hal tersebut membuat mereka sibuk menjelek-jelekkan agama lain dan menghasut agar orang-orang tersebut untuk murtad.
Siapa tahu di atas sana Tuhan yang kita perjuangkan (dalam agama masing-masing) justru sedih melihat makhluk-Nya berperang untuk hal-hal yang sebenarnya tidak perlu sampai mengeluarkan darah, mengorbankan jiwa dan raga.
Atau seperti yang pernah kudiskusikan dengan seorang teman kerjaku yang beragama Kristen, “Eh, siapa tahu ya Tuhan di atas sana malah menertawakan kita yang merasa sok paling benar dalam agama kita.”
Aku tak lagi memenjarakan diri dengan bacaan-bacaan tertentu karena:
1. Aku memiliki keyakinan yang kuat bahwa keberadaan ideologi feminisme membantu mengurangi penindasan yang dilakukan kepada kaum perempuan. Selain itu, ideologi ini juga membantu melepaskan beban berat di pundak laki-laki yang dipaksa untuk menjadi pencari nafkah utama dalam budaya patriarki.
2. Aku memiliki keyakinan yang kuat bahwa Tuhan tidak pilih kasih atas umat-Nya yang beragama tertentu. Aku tetap memilih untuk beragama Islam karena aku pun memiliki keyakinan yang kuat pada agama yang telah kupeluk sejak aku lahir. Satu hal yang tentu sangat berbeda dibandingkan kondisiku di waktu lalu: aku Islam karena orang tuaku beragama Islam, seolah-olah aku tidak memiliki pilihan lain. Saat ini aku Islam karena pilihanku sendiri.
Namun aku bukanlah seorang fanatik. Aku bukan seorang feminis fanatik. Banyak teman perempuan yang kukenal lewat milis maupun dari blogging yang mengatakan mereka tidak perlu merasa menjadi seorang feminis hanya untuk berpendirian bahwa perempuan setara dengan laki-laki. Yang penting mereka tahu hak-hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan. Aku juga bukan seorang Muslim yang fanatik yang harus memusuhi (meskipun hanya dalam hati, apalagi ditunjukkan dalam tindak tanduk yang nyata dalam kehidupan sehari-hari) orang-orang lain agama.
Sekitar satu tahun yang lalu aku menemukan satu pepatah bijak mengenai fanatisme ini di salah satu blog seorang teman dari Inggris:
A fanatic is one who can't change his mind and won't change the subject.
Seseorang yang fanatik adalah seseorang yang tidak dapat mengubah cara berpikirnya, dan tidak akan mengubah topik pembicaraannya.
Kataku sendiri, seorang fanatik hanya mempertontonkan kesempitan nalarnya.
Sir James Dewar mengatakan,
Minds are like parachutes; they only function when they are open.
Otak itu seperti parasut; dia hanya berfungsi tatkala terbuka.
Seorang fanatik membiarkan nalarnya terus tertutup yang berarti otaknya tak berfungsi dengan baik.
PT56 11.30 210607
No comments:
Post a Comment