Mengomentari artikel yang berjudul “Perempuan Makhluk Sekunder?” yang dimuat surat kabar Suara Merdeka tanggal 21 April 2007 halaman 6.
Dalam salah satu paragraf artikel ini, Martin Moentadhim menulis “Konon, versi bahasa Inggris buku itu (baca è Habis Gelap Terbitlah Terang tulisan RA Kartini) sampai ke daratan AS. Ibu Negara AS—kalau tidak salah—Nyonya Franklin Delano Roosevelt, the First Lady, memidatokannya di mana-mana. lahirlah kemudian apa yang disebut gerakan Womans Liberation.”
Lahirnya gerakan Woman’s Liberation di Amerika Serikat tidaklah semudah seperti apa yang ditulis oleh Martin Moentadhim, bahwa Ibu Negara Amerika Serikat pada waktu itu terinspirasi oleh buku RA Kartini. Saya tidak bermaksud untuk mengecilkan nama RA Kartini yang entah bagaimana ceritanya dipilih oleh penguasa Orde Baru sebagai ikon pejuang perempuan dibandingkan perempuan-perempuan pahlawan lain, seperti Dewi Sartika dari Jawa Barat, Cut Nyak Dhien dari Aceh, dan lain-lain.
Gerakan perempuan di Amerika bisa dikatakan mulai dilaksanakan dengan solid oleh kaum perempuan di sana semenjak dilaksanakannya Konvensi Perempuan pertama di Seneca Falls, New York pada tanggal 19 Juli 1848. Elizabeth Cady Stanton menulis draft The Declaration of Sentiments sebagai ganti The Declaration of Independence (1776) yang menyatakan “All men are created equal”. Kata “men” dulu dianggap juga mewakili “women” jika kata “men” itu bermakna jamak. Namun kenyataannya kata “men” dalam The Declaration of Independence memang hanya dimaksudkan untuk “white men”; lebih lengkapnya lagi “white Anglo Saxon Protestant men”, karena dalam prakteknya, kesetaraan itu hanya untuk laki-laki berkulit putih yang beragama Anglo Saxon Protestant. Yang diluar itu, tentu saja masih mengalami diskriminasi, termasuk kaum perempuan, dan kaum kulit hitam yang masih terbelenggu perbudakan.
Stanton berpendapat bahwa seharusnya kalimat itu diubah menjadi “All men and women are created equal.”
Satu hal yang diperjuangkan oleh kaum pejuang perempuan fase pertama ini, yakni hak memilih dalam Pemilihan Umum. Para perempuan pada waktu itu berpikir bahwa jika mereka memiliki hak untuk memilih, mereka setara dengan laki-laki. Sebagian perempuan lain yang berpendapat bahwa jika perempuan mampu mandiri secara finansial akan menjadikannya setara dengan laki-laki masih kalah gaungnya dibandingkan yang memperjuangkan hak memilih.
Lewat perjuangan yang panjang, selain juga berjuang untuk kemerdekaan para kaum kulit hitam yang terbelenggu perbudakan, kaum perempuan Amerika akhirnya memperoleh hak pilih pada tahun 1920 di bawah pemerintahan Presiden Woodrow Wilson (memerintah dalam kurun waktu 1913-1921).
Setelah perjuangan mereka terpenuhi—memperoleh hak pilih dalam Pemilihan Umum—gerakan kaum perempuan gelombang pertama ini mulai menurun. Selain itu juga kebanyakan para pejuang perempuan tersebut telah mencapai usia yang uzur dan belum mendapatkan ganti. http://college.hmco.com/history/readerscomp/rcah/html/ah_030901_ifromitsorig.htm
Setelah perang dunia kedua, 1950-an merupakan domestic decade (dekade domestikisasi) kaum perempuan. Budaya massa yang muncul pada waktu itu lebih menekankan peran domestik perempuan, mengolok-olok wanita karir, merendahkan kaum ibu yang bekerja, dan melabeli kaum feminis sebagai kaum penyimpang.
Namun begitu, pada dekade yang sama kampanye pedidikan tinggi bagi kaum perempuan juga meningkat dengan pesat. Jumlah kaum perempuan yang melanjutkan kuliah tambah banyak. Di antara mereka inilah muncul Betty Friedan yang menuliskan pengalamannya sebagai seorang perempuan terpelajar yang “dikungkung” tembok rumah tangga (dan juga banyak perempuan yang lain yang dia wawancara sebelum menuangkannya dalam buku yang berjudul “A Feminine Mystique” (1963).
Selain itu, kebutuhan konsumerisme yang semakin meningkat, dan dengan semakin meluasnya kehadiran “kaum kelas menengah” dalam mencukupi kehidupannya, banyak keluarga yang akhirnya memiliki dua pencari nafkah—baik suami maupun istri. Dari sinilah muncul kebutuhan akan perlakuan yang sama kepada pekerja laki-laki maupun perempuan, termasuk di antaranya adalah gaji dan kesempatan untuk meningkatkan karir yang sama.
Bersama-sama dengan para pejuang kulit hitam untuk menghapus segregasi antara kulit putih dan kulit hitam dengan adanya Jim Crow Law, para feminis muda ini menyuarakan women’s liberation.
PT56 12.05 240407
No comments:
Post a Comment