KONSTRUKSI MASKULINITAS DAN FEMININITAS
Kun Fayakun, kata Tuhan. Maka jadilah kami seperti ini. Tetapi mengapa manusia terperangkap dalam dua kutub perempuan dan laki-laki, sehingga kami yang seperti ini dipersoalkan? Mengapa manusia yang diakui sah hanyalah perempuan dan laki-laki? Dan kami dimana? Apakah ini mengingkari sunnatullah? Allah a’lam bisshawab.
(Puang Saidi, percakapan tengah tahun 2003)
dari Srinthil, Media Perempuan Multikultural,
Kajian Perempuan Desantara, Oktober 2003, halaman 5
Dede Oetomo, si penulis buku MENBERI SUARA PADA YANG BISU, mengungkapkan dalam artikelnya yang berjudul “Aku, Gender, Seks, dan Seksualitas” (dimuat dalam Srinthil, Media Perempuan Multikultural, Desantara Oktober 2003, halaman 87-101) bahwa dia mendapatkan kemaskulinannya secara “terkonstruksi” (socially constructred) melalui hubungan-hubungan kompleks yang senantiasa berkembang dan bukan secara “given” begitu saja.
Hal ini menunjukkan pandangan bahwa mereka yang dilahirkan memiliki penis akan serta merta menjadi maskulin, maupun mereka yang dilahirkan memiliki vagina akan menjadi feminin tidak selalu benar.
Mungkin anda kemudian akan berkomentar, “Itu kan Dede Oetomo? Dia kan gay? Ya pantas saja kalau dia bilang begitu. Pengalaman seorang gay tidak cukup untuk kemudian dipakai sebagai tolok ukur orang-orang lain. Itu sangatlah subjektif.”
Seperti komentar seorang teman kuliah waktu dia tahu aku sedang membaca THE HISTORY OF SEXUALITY tulisan Michel Foucaoult, “Kamu membaca tulisan Foucaoult? Tentu saja kamu akan mendapatkan pembenaran atas homoseksualitas karena Foucault adalah seorang homo.”
Namun seandainya kita benar-benar bisa menimbang suatu masalah secara “objektif”, seberapa yakinkah kita bahwa pertimbangan itu benar-benar objektif? Dan lepas dari kesubjektifan seseorang, atau kesubjektifan satu komunitas secara mayoritas? Apakah hanya karena sesuatu itu ‘diamini’ oleh orang banyak, hal tersebut akan dengan serta merta dinilai “objektif”?
Dalam artikel ini aku ingin membandingkan pengalaman masa kecil Dede Oetomo, pertumbuhkembangannya dalam mengkonstruksi kemaskulinannya dengan pengalamanku sendiri yang terlahir memiliki vagina.
Aku punya seorang kakak laki-laki yang jarak usianya tidak terlalu jauh dariku, sekitar 22 bulan. Masa kecil yang kita lalui bersama membuatku ikut bermain apa yang dia lakukan. Maklumlah, seorang adik suka mengikuti apa yang dilakukan kakaknya bukan? Dan di waktu kecil, perbedaan gender tidaklah terasa begitu mencolok. Di waktu kecil kita bermain rumah-rumahan, bekel, dakon (yang konon permainan khas milik anak perempuan), sampai main kelereng, mobil-mobilan, lompat tali, naik sepeda, termasuk memanjat tiang rumah sampai ke genteng, (tidak ada pohon di halaman rumah kita waktu kecil karena kebetulan rumah kita sangat mungil, tidak ada tempat untuk pohon-pohonan) plus main layang-layang. Untuk main layang-layang, seperti Dede Oetomo, aku memang lebih sering gagal untuk menaikkannya ke angkasa. Oleh karenanya aku dan kakakku saling membantu untuk menaikkannya ke angkasa, dan kemudian aku akan menikmati memegangi benangnya setelah layang-layang terbang kian kemari di udara.
Kelahiran adikku, seorang perempuan, yang empat tahun lebih muda dariku tidak mengurangi kedekatanku dengan kakakku tatkala itu.
Diam-diam sepertinya Ibuku tidak begitu menyukai kebiasaanku bermain permainan yang konon katanya milik anak laki-laki.
Aku “dipisahkan” secara paksa dengan kakakku setelah dia khitan. Kata Ibu, “Dia laki-laki, kamu perempuan. Tidak baik untuk selalu bersama.” Namun, keasyikan melakukan hal-hal yang maskulin itu tetap melekat dengan erat di benakku.
Hal inilah yang melatarbelakangi keikutsertaanku olah raga karate ketika aku duduk di bangku SMP. Di satu sisi dalam diriku, aku ingin membentuk diri menjadi seorang perempuan yang disebut ‘tomboy’. Rasanya asyik aja. Sementara di sisi lain, aku tetaplah seorang perempuan yang naksir cowo.
Aku ingat meskipun ketika aku duduk di bangku SD, orang tuaku berlangganan beberapa majalah anak-anak sebangsa BOBO, TOM-TOM, dan ANANDA, sewaktu aku duduk di bangku SMP/SMA, orang tuaku tidak berlangganan majalah remaja, semisal GADIS, ANITA CEMERLANG, dll. Kadang-kadang saja kita membeli HAI.
Majalah GADIS, setahuku, biasa “mengajari” atau “membentuk” para remaja perempuan untuk menjadi “perempuan yang sebenar-benarnya”. Misal bagaimana menjadi perempuan yang feminin, bermakeup dengan baik namun masih tetap menunjukkan keremajaan, dan tidak seperti perempuan dewasa; bagaimana seorang remaja perempuan seharusnya bersikap dalam menghadapi satu masalah, dll. Sedangkan majalah HAI, yang katanya majalah untuk remaja cowo waktu itu, memuat artikel-artikel yang khusus “berbau” cowo, bagaimana seorang cowo “harus” macho agar benar-benar menjadi seorang laki-laki.
Karena tidak terbiasa membaca majalah khusus remaja perempuan inilah aku merasa berbeda dengan remaja perempuan sebayaku waktu itu. Kulihat teman-teman perempuan sebayaku sudah mulai membentuk diri untuk menjadi feminin, meniru apa yang mereka baca dari majalah remaja khusus untuk perempuan, sedangkan aku tidak begitu peduli. Kesukaanku mengikuti olah raga karate, dan kenangan novel serial silat yang banyak kubaca di waktu kecil (kakak sepupuku yang bersekolah di Gontor waktu itu tiap kali berlibur ke Semarang di bulan Ramadhan sering menyewa novel serial silat, dan aku suka berkhayal menjadi salah satu tokoh utama di situ) pelan-pelan membentuk kemaskulinanku. Tentu saja juga ditambah pengalaman melakukan permainan khas anak laki-laki yang dulu sering kulakukan dengan kakakku sewaktu duduk di bangku SD.
Aku sudah lupa apa yang kemudian membuatku HARUS melupakan dan menghentikanku dari membentuk diri menjadi maskulin. Yang aku ingat adalah ketika duduk di kelas III SMP, aku naksir seorang cowo, adik kelas, yang justru aktif mengikuti kegiatan ekstra kurikuler menari. Di mataku dia sangat gemulai tatkala menari di atas panggung, namun dia tetap ‘macho’. Tiba-tiba aku menjadi malu pada diri sendiri. Mengapa aku yang perempuan justru membentuk diri menjadi maskulin sedangkan dia yang laki-laki menggeluti hobby yang bisa membentuk dia menjadi feminin. Hal ini yang kemudian membuatku memutuskan untuk berhenti berlatih karate. Kata teman-teman, “Laki-laki tidak suka perempuan yang tidak feminin,” membuatku pelan-pelan mencoba menghilangkan sisi maskulin dalam diriku. Tujuan utama jelas: untuk menarik perhatian cowo yang kutaksir waktu itu.
Mencoba untuk menjadi feminin, agar ditaksir cowo (aku pun telah menderita Cinderella complex sejak remaja yang sayangnya sekarang tidak bisa kutelusuri kembali apa yang menyebabkan hal ini karena aku tidak terbiasa membaca majalah khusus perempuan remaja), ternyata tidaklah semudah yang kubayangkan.
Tatkala pertama kali menginjak masa bekerja sangat berat bagiku untuk harus selalu memakai rok karena pekerjaan yang mengharuskan mobile, pindah dari satu tempat ke tempat lain. Dalam satu hari aku kadang harus mengajar di empat cabang sekaligus. Hal ini dikarenakan peraturan bahwa pegawai perempuan harus memakai rok.
Tatkala aku mulai bekerja di sebuah universitas swasta dan beberapa rekan kerja perempuan memakai celana panjang, aku sangat menyukainya karena tentu saja akan lebih mudah dan nyaman bagiku. Untunglah tak lama kemudian peraturan di kantor lama bahwa perempuan harus memakai rok direvisi.
Kenangan masa kecil ketika aku sering melakukan permainan “khas cowo”, berlatih karate ketika duduk di bangku SMP, memaksa membentuk diri menjadi feminin untuk menarik perhatian cowo, semua ini berbaur menjadi satu pada diriku. Hal ini akhirnya membentuk diri seorang Nana yang tidak feminin namun juga tidak maskulin. I am in between. Kalau dalam keseharianku beberapa tahun terakhir ini aku lebih sering memakai rok panjang karena aku merasa nyaman saja, bukan karena aku ingin tampil feminin. Pembentukan diri menjadi seorang feminis telah membuatku meninggalkan keyakinan “untuk menarik perhatian cowo seorang perempuan harus feminin”. Aku suka memakai sepatu berhak tinggi juga bukan agar aku tampil feminin, melainkan agar aku tampil lebih tinggi karena Tuhan menciptakanku bertubuh mungil. LOL. (Sorry God, You become a scapegoat here. LOL.) Meskipun memakai sepatu berhak tinggi, aku tidak merasa berjalan dengan lemah gemulai. Kadang-kadang saja aku melangkah gemulai, kenangan tatkala melihat Angie latihan berjalan di atas catwalk, dan menirukannya. LOL.
Kembali ke tulisan Dede Oetomo, adakah maskulinitas dan femininitas yang benar-benar gifted from God? Aku lebih percaya bahwa maskulinitas dan femininitas merupakan produk konstruksi sosial budaya. So, tidak ada yang salah ketika seorang laki-laki tampil feminin atau seorang perempuan tampil maskulin.
Mengapa kita tidak mulai dari sekarang mengubah mind set kita bahwa jenis kelamin yang diciptakan oleh Tuhan hanya ada dua: perempuan dan laki-laki. Bahwa laki-laki (baca: makhluk berpenis) seperti Dede Oetomo diciptakan oleh Tuhan untuk menjadi makhluk “in between”. Seperti halnya perempuan (baca: makhluk bervagina) pun ada yang diciptakan oleh Tuhan menjadi makhluk “in between” karena memiliki jiwa laki-laki.
PT56 10.25 140707
No comments:
Post a Comment