Dear blog readers,
Artikel berikut ini aku post di sini adalah respons yang aku berikan dalam salah satu milis yang aku ikuti.
Asal kamu tahu, kita-kita kaum yang menyebut diri 'feminis' atau, well, para pejuang untuk kesetaraan laki-laki dan perempuan, tidak menyukai pilihan kata WANITA, karena kata WAN itu berarti = yang diinginkan, berarti WANITA adalah yang diinginkan, dan di kultur yang memuja heteroseksualitas sebagai satu-satunya seksualitas yang NORMAL, tentu saja WANITA berkonotasi "yang diinginkan oleh kaum laki-laki".
Kita kaum feminis (well, mungkin tidak semua orang yang berjuang untuk kesetaraan laki-laki dan perempuan suka disebut 'feminis' karena bagi sebagian orang kata 'feminis' ini bisa jadi berkonotasi negatif, tapi, aku bangga-bangga aja menyebut diri sebagai seorang feminis. LOL) lebih memilih kata PEREMPUAN yang berasal dari PER-EMPU-AN. Kata 'empu' berarti yang ahli, berarti kita kaum perempuan adalah kaum ahli, yang mampu melakukan apa pun yang kita inginkan, mampu memilih, dan bukan hanya dipilih, apalagi YANG DIINGINKAN.
Menilik dari cerita-ceritamu, kita harus cari tahu sampai ke akar-akarnya mengapa perempuan-perempuan yang kamu ceritakan itu bertingkah laku seperti itu?
Kebetulan kita hidup di Indonesia yang kultur patriarki nya masih sangat kental walaupun ideologi feminisme (baca kesetaraan laki-laki dan perempuan) telah masuk ke Indonesia sejak dekade-dekade terakhir abad ke 20. ditambah lagi dengan kultur “marriage-oriented society”, plus ‘sok’ relijius (contoh: kalau terjadi kekerasan dalam rumah tangga terhadap kaum perempuan, mereka diminta, atau bahkan DIHARUSKAN oleh anggota keluarga mereka sendiri untuk merahasiakan hal tersebut, karena pengindoktrinasian melalui pelajaran agama bahwa para kaum perempuan harus menjaga rahasia suami, meskipun si istri menderita batin.) seandainya terjadi ‘apa-apa’ dalam sebuah rumah tangga, masyarakat dengan mudah menuding bahwa si perempuan lah yang salah.
Hal ini tentu saja akan amat sangat mempengaruhi para kaum perempuan dalam mengambil tindakan untuk mengambil solusi suatu permasalahan. Khawatir dicap sebagai perempuan yang tidak mampu menjaga roda rumah tangga, para perempuan itu kemudian melakukan apa saja agar rumah tangga mereka tetap aman-aman saja (namun hanya terlihat dari luar saja), termasuk melakukan hal-hal yang di nalar orang lain (baca kaum patriarki) tidak masuk akal.
Seberapa yakin kamu bahwa para perempuan yang ‘tidak masuk akal’ itu melakan semua hal tersebut hanya demi cinta terhadap suami mereka yang telah menyakiti mereka? Bagaimana dengan tudingan masyarakat yang dengan gampang menyalahkan kaum perempuan?
Juga dengan tumbuh suburnya FAIRY TALES sebangsa Cinderella (ingat? Kisah-kisah dongeng itu selalu berakhir dengan “and then the prince and the princess got married and they live happily together ever after). Seolah-olah semua permasalahan akan usai setelah pernikahan, tak ada lagi air mata, tak ada lagi nestapa. Juga bahwa “kebahagiaan hakiki” dalam hidup di dunia ini hanya bisa didapatkan dari pernikahan, hal ini akan mendorong semua orang menikah hanya untuk dianggap NORMAL, BAHAGIA.
Demi dianggap sebagai seseorang yang NORMAL dan BAHAGIA di mata masyarakat, kaum perempuan itu akan berusaha sekuat tenaga untuk menjaga rumah tangganya, meskipun mereka hancur lebur dalam hati.
Juga mitos bahwa orang-orang yang mudah melakukan perceraian dalam hidupnya adalah orang-orang yang ‘rendah’ karena tidak mampu menjaga keutuhan rumah tangga (misal: tudingan masyarakat, “Kok loe mudah amat sih cere? Gitu aja cere, emang ga ada jalan lain? Loe gampangan amat yah?”) disertai dengan mitos bahwa “broken family” akan menghasilkan ‘broken future generations’, semakin memperparah keadaan.
Padahal kalo dipikir-pikir daripada hidup bersama namun laksana hidup di neraka (bertengkar tiap hari, ataupun terjadi kekerasan terhadap perempuan tiap hari), bukankah perceraian adalah jalan yang lebih baik, untuk lebih menyelamatkan mental anak-anak dari melihat pertengkaran setiap hari? Atau menghindari ‘modelling’ bahwa sebagai seorang laki-laki, seseorang boleh melakukan apa saja terhadap perempuan (karena melihat sang ayah yang selalu melakukan kekerasan terhadap sang ibu), atau sebagai seorang perempuan, harus diam saja tatkala sang suami melakukan kekerasan terhadapnya (besar kemungkinan si anak perempuan akan mencontohnya). Penyakit yang akan terus menerus turun temurun bukan?
Sekarang mengenai seorang perempuan yang terus menerus sibuk membubuhkan bedak dan lain lain ke wajahnya.
Sepengetahuanku, di kultur patriarki ini, ada stereotipe bahwa perempuan itu harus cantik (agar mampu menarik perhatian laki-laki). Bagi para kaum perempuan yang tidak pede dengan yang mereka miliki, toh mereka hanya melakukan apa yang dituntut oleh masyarakat untuk selalu tampil cantik? Mengapa mereka yang disalahkan? Mengapa tidak mulai diubah saja cara berpikir masyarakat? Bahwa cantik luar itu tidak ada apa-apanya? Bahwa meningkatkan kemampuan intelektual itu jauh lebih bermakna daripada sekedar membubuhkan bedak dan lipstik? Dan hentikanlah itu iklan-iklan menggelikan di televisi yang memandang perempuan hanya dari kecantikan saja, dari kulit mulus saja, dari rambut yang lurus dan sehat saja! Agar kaum perempuan berhenti untuk hanya membubuhkan bedak, lipstik, body lotion ke seluruh tubuhnya. Agar kaum perempuan berhenti untuk membelanjakan uangnya hanya untuk benda-benda tersebut.
Hentikan juga itu iklan-iklan yang memposisikan perempuan hanya sebagai tukang masak! Dan dunia kapitalis akan berteriak-teriak dari mana mereka akan mendapatkan keuntungan? Ganti dengan iklan-iklan yang jauh lebih mendidik.
Kalau sampai terjadi kaum laki-laki merasa dikendalikan oleh perempuan. Nah ... itu berarti laki-lakinya yang tidak pede. Seperti juga kaum perempuan yang dikendalikan oleh laki-laki (untuk selalu melakukan apa pun yang laki-laki inginkan dari mereka) itu adalah orang-orang yang tidak pede juga.
Mengenai perempuan yang KONON diciptakan dari tulang rusuk laki-laki, sebagai kaum Muslim, baca deh buku Quran Menurut Perempuan tulisan Amina Wadud atau Setara di Hadapan Allah tulisan Riffat Hassan dan Fatima Mernissi.
Mengenai pendapatmu bahwa perempuan adalah satu bentuk keindahan yang diciptakan oleh Allah di dunia ini, well, kamu baca lagi deh mengapa dalam Al-Quran ada surat ANNISA. Itu bukan karena perempuan adalah satu bentuk keindahan, namun untuk menghormati kedudukan perempuan dalam masyarakat, yang kebetulan ketika Nabi Muhammad lahir tengah berada dalam masa jahiliyah di mana kedudukan perempuan sangat direndahkan. Allah ingin mengangkat harkat perempuan dengan turunnya surat tersebut, dan bukan untuk “hati-hatilah kepada kaum perempuan yang diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok itu. BUKAN.
Untuk lebih lengkapnya baca artikel di sini
http://www.themodernreligion.com/women/w_comparison_full.htm
terlihat dalam artikel di sini bahwa tidak ada itu “HATI-HATILAH TERHADAP KAUM PEREMPUAN YANG AKAN MAMPU MENJATUHKAN MARTABATMU”.
Salam.
Nana P
http://afeministblog.blogspot.com
http://afemaleguest.blog.co.uk
No comments:
Post a Comment