Dari milis sastra-pembebasan
Beberapa bulan belakangan ini, media massa dihiasi,drama para ulama yang saling adu bicara, bahkan ada yang dituntut agar masuk penjara. Di internet para anggota mailing list tak kalah hebat, saling serang dan menjelekkan agama satu dengan yang lain.
Organisasi saling adu massa, bersilang sengketa, tentang moralitas. Porno aksi dan porno grafi, seolah menggetarkan Nusantara, sebelum gempa bumi menggetarkan tanah Jogya.
Para oknum brahmana, pendeta dan ulama laknat,sekarang lagi mengendap-endap, mumpung perhatian media terfokus pada bencana, memasang strategi pemaksaan kehendak, mengegolkan aturan pengerem syahwat. Jelas ini pertanda, para ulama sudah putus asa, lari dari tugas tanggung jawab sebagai penjaga moralitas. Melemparkan tanggung jawab, karena tahu, bahwa moralnya sendiri rusak nan bejat. Banyak yang ngaku ulama, tapi kalau ada kesempatan nyoblos janda atau perawan, hukum agama dibelokkan untuk pembenaran. Memang begitulah brahmana mabok arta-brana, tinggal glanggang colong playu, meninggalkan tugas dan tanggung jawab sosio-kultural, tetapi sangat getol
masuk ke area politik, baik jadi pemain atau dibayar murah sebagai pengumpul suara saat pilkada..
Sodara-sodaraku,
Tidak pernahkah kamu tahu, perilaku syeikh kaya raya, di tenda mewah padang pasir Dubai? Sekali jentikan jari, gadis-gadis cantik asal Lebanon bergoyang gemulai, berpakaian minim, perut pusar terbuka – pengundang syahwat luar biasa. HEI para brahmana lupa agama, tidakkah kau rasakan sakit hati para TKW, berlinang air mata, diperkosa, disodok paksa tongkat maksiat, pria tanah Arab ? Kalau engkau tahu tapi
purah-purah tidak tahu, maka engkau tergolong Ulama Buta Mata dan Buta Hati.
Akankah kita mengacu pada nilai-nilai padang pasir, dimana aturan cadar dan pakaian, ternyata tidak bisa menghentikan gejolak nafsu syahwat lelaki bejat? Bukankah di jazirah Arab, yang kita jadikan acuan, penyedot devisa wisata moral, tumbuh bagai jamur di musim hujan, tempat bejat pemuas syahwat? Sementara kita di tanah Nusantara, ribut gontok-gontokkan, mencontoh aturan yang jelas-jelas gagal diterapkan di tanah Arab. Aturan yang tak mampu, mengurangi kebejatan moral oknum disana. Kalau disana aturan agama saja tak digubris, bahkan oleh para penguasa padang pasir, yang katanya keturunan orang suci, lalu kenapa kita seperti dicokok hidung, ikut model mereka?
Tidakkah lebih baik mencontoh laku prihatin? Prihatin terhadap keadaan bangsa kita yang saat ini terpuruk tanpa jalan keluar. Akankah kita terus cakar-cakaran,
berdebat tentang cocok tidaknya budaya padang pasir? Sementara jelas-jelas kita tahu, tlatah Nusantara beda dengan padang pasir, sehingga model sorban, cadar, pakaian panjang, tidak cocok untuk daerah tropis seperti ini. Tidakkah aneh, kalau ada warga gunung kidul, kurus kudisan, petani ketela, memelihara jenggot panjang, meniru wajah-wajah tanah Arab, dimana jenggot lebat memang menjadi pemanis struktur wajah
warga padang pasir?
Kemulian karya-karya orang suci tanah Arab, tidaklah saya abaikan. Akan tetapi saya simpan dalam hati, dan saya gunakan dalam melaksanakan kehidupan. Apakah kita
perlu menonjolkan jati diri, membanggakan identitas, berbondong-bondong pada hari jumat, sambil membawa niat, hanya untuk mengharap mukjizat, kejatuhan pangkat dan derajat ? Akankah kita terus mempelajari sareat, tarik urat mempertahankan pendapat, tetapi tidak memahami hakekat ?
Warga bangsa yang saya cintai,
Anak bangsa, bagai domba bodoh yang digiring kesana kemari, oleh ulama yang buta mata dan hati. Karena tak paham arti kiasan dari karya suci nan indah, lalu para
manipulator ayat, menggiring rakyat jelata ke jurang sesat yang akhirnya mendapatkan laknat. Diajarkan membaca kutbah, akan tetapi, lidahnya lidah jawa, syair arab dilagukan dandang gula ala palaran.
Sudah terlalu jauh langkah yang telah dilakukan oleh anak-anak bangsa. Sepertinya bukan lagi meneladani Kanjeng Nabi, tetapi sudah terlalu banyak digiring dan dicekoki oleh ulama bejat. Brahmana laknat, hanya mempertajam sarengat, tanpa tahu hakikat, meneriakkan seruan jahat, yang dibalik itu, hanya ada niat untuk menjadi jongos para ningrat pejabat laknat.
Hei anak-anak Nusantara ! jangan kau ikuti, tingkah polah brahmana ulama buta mata dan buta hati. Sebentar lagi, para danyang-danyang tanah Nusantara, akan datang menyantap habis satu persatu, ulama penjual ayat, pejabat bejat, pedagang penggarong duit rakyat. Janjinya pasti dipenuhi, seperti dipenuhinya, pertanda yang diberikan sejak 500 tahun yang silam, yang saat ini terbukti yakni Gunung Merapi Meletus, Laharnya Berbau Amis. Setelah gunung meletus, maka tanda berikutnya adalah, darah mengucur dari tubuh ulama buta mata dan hati. Sebagai tumbal bagi para Danyang
Tanah Jawi. Tak ada yang akan bisa menghalangi.
Rakyat jelata Nusantara, jauhilah para ulama buta mata dan buta hati. Jauhilah brahmana bejat, yang suka mengail di air keruh, penikam kawan seiring, penggunting dalam lipatan. Pendeta bejat yang mengesampingkan budi pekerti, untuk meraih uang dan
kekuasaan. Jaga hati nurani, agar tidak ikut terseret perintah pendeta gila. Tetaplah teguh walau hidupmu terasa berat, bahkan melarat. Jangan percaya pinandita mabok harta, tinggalkan ulama bejat, biarlah dia berkoar di padang pasir dan sendirian terkena laknat.
Sahabat, ingatlah selalu, bahwa sebaik-baiknya orang yang lupa daratan, akan lebih bahagia orang yang tetap ’eling’ dan selalu ’waspada’.
Oleh para penindita wahyu suci sering disalah gunakan. Brahmana munafik mengaku penganut kerohanian, akan tetapi wahyu yang tadinya merupakan sumber air yang
jernih, dikeruhkan oleh lumpur tabiat manusia dusta yang berpura-pura menjadi penganutnya. Agama hanya alat angkara murka sang Brahmana. Perbuatan munafik para ulama, brahmana, pendeta dan sebangsanya, adalah penyebab, terjadinya penghisapan, penindasan dari suatu golongan terhadap sesamanya di Nusantara.
Hei Ulama Buta Mata dan Hati, setelah Gunung Merapi, Meletus Laharnya Berbau Amis, maka tiba giliran Danyang Tanah Nusantara akan melenyapkanmu. Darahmu akan tercecer dalam waktu dekat, sebagai tumbal tanah Nusantara.
Maktub.
Kunjungi website si penulis di
http://360.yahoo.com/kijeromartani
No comments:
Post a Comment